Teori dan State of the Arts dalam Penelitian
Selain masalah, pertanyaan, tujuan, dan metode penelitian, bagian lain yang tidak kalah pentingnya dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan penelitian adalah teori. Tetapi sebelum melangkah lebih lanjut, penting untuk ditegaskan apa yang dimaksud dengan teori. Kendati istilah ‘teori’ begitu sering dipakai dalam wacana akademik, sebenarnya arti yang tepat masih samar-samar (vague) dan beragam. Para pakar memberikan definisi sesuai pandangannya masing-masing. Namun, secara umum, teori diartikan sebagai seperangkat ide, penjelasan atau prediksi secara ilmiah. Dengan nafas positivistik, Kerlinger (Creswell, 2003: 120) mengartikan teori sebagai seperangkat ide, konstruk atau variabel, definisi, dan proposisi yang memberikan gambaran suatu fenomena atau peristiwa secara sistematik dengan cara menentukan hubungan antar-variabel. Lengkapnya definsi Kerlinger tersebut adalah:
“A theory is a set of interrelated constructs (variables), definitions, and propositions that presents a systematic view of phenomena by specifying relations among variables.
Senada dengan definsi tersebut, Labovitz dan Hagedorn menambahkan bahwa teori merupakan anggapan dasar (rationale) yang menentukan bagaimana dan mengapa variabel dan pernyataan-pernyataan relasional tertentu saling terkait. Misalnya, mengapa variabel bebas X (independent variable X) mempengaruhi atau berpengaruh terhadap variabel Y?. Teori akan memberikan penjelasan mengenai prediksi tersebut. Dengan demikian, teori digunakan untuk menjelaskan sebuah model atau seperangkat konsep dan proposisi yang sesuai dengan kejadian yang sebenarnya atau sebagai dasar melakukan suatu tindakan yang terkait dengan sebuah peristiwa tertentu.
Sementara itu, tidak seperti Kerlinger, Labovitz dan Hagedorn yang definisinya mengenai teori lebih positivistik, Thomas Kuhn memberikan pandangan agak berbeda bahwa pada umumnya peneliti kualitatif berpandangan bahwa semua observasi berbasis teori (theory laden). Artinya, pemahaman kita tentang dunia secara otomatis dibentuk oleh pengetahuan kita sebelumnya tentang dunia itu, sehingga tidak akan pernah ada deskripsi atau penjelasan berbasis teori yang netral dan objektif lepas dari perspektif tertentu. Karena itu, teori, terungkap atau tidak, merupakan komponen tak terpisahkan dari penelitian.
Jika Kerlinger, Labovitz dan Hagedorn, dan Thomas Kuhn memberikan penjelasan mengenai teori lebih secara konseptual, Neuman (2000) lebih melihat wilayah cakupannya (a breadth of coverage). Menurutnya, ada tiga tingkatan teori, yaitu tingkat mikro (micro-level), tingkat meso (meso-level), dan tingkat makro (macro-level). Teori tingkat mikro memberikan penjelasan hanya terbatas pada peristiwa yang berskala kecil, baik dari sisi waktu, ruang, maupun jumlah orang, seperti di dalam sosiologi dikenal teori “face work” Erving Goffman yang mengkaji kegiatan ritual dua orang yang saling berhadapan atau bertatap muka (face to face). Teori tingkat meso menghubungkan tingkat mikro dan makro. Misalnya, teori organisasi, gerakan sosial, atau komunitas. Teori Collin tentang kontrol organisasi merupakan contoh teori tingkat meso. Se dangkan teori tingkat makro menjelaskan objek yang lebih luas, seperti lembaga sosial, sistem budaya, dan masyarakat secara keseluruhan. Misalnya, teori makro Lenski tentang stratifikasi sosial menjelaskan bagaimana surplus yang terjadi di masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Artinya, jika sebuah masyarakat berkembang pesat, maka akan diikuti oleh surplus pada masyarakat itu.
B. Bentuk Teori
Terdapat macam-macam bentuk atau wujud teori sebagai berikut:
a. Bentuk seperangkat hipotesis, seperti:
1. “Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan masyarakat kepadanya”.
2. “Semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga, semakin tinggi pula tingkat pengeluarannya”.
b. Dalam bentuk model pernyataan “jika … , ma ka …”, seperti:
1. “Jika interaksi antara dua atau lebih orang intensif, maka tingkat kesukaan di antara mereka juga meningkat”.
2. “Jika fasilitas belajar mengajar lengkap, maka kompetensi siswa juga akan meningkat”.
c. Ketiga adalah model visual, sebagaimana digambarkan berikut:
Bagan 1: Three independent variables influencing a single dependent variable mediated by two intervening variables. (Gambar diambil dari Creswell (2003: 122-123)
Bagan 2: Two Given Different treatments on X1 are compared in terms of Y1 controlling for X2.
C. Fungsi Teori dalam Penelitian
Sebagaimana diketahui menurut filsafat ilmu pengetahuan, dikenal ada dua aliran pemikiran besar atau paradigma ilmu dalam memandang persoalan, yakni paradigma positivistik yang bersumber atau dipengaruhi oleh cara pandang ilmu alam yang bersandar pada hal-hal yang bersifat empirik, dan menjadi dasar metode penelitian kuantitatif, dan paradigma interpretif yang berakar dari cara pandang ilmu sosial yang lebih bersifat holistik dalam memandang persoalan, dan menjadi dasar metode penelitian kualitatif. Masing-masing metode tersebut berbeda sangat tajam dalam memandang persoalan yang diangkat menjadi masalah penelitian, mulai dari tujuan penelitian, desain penelitian, proses penelitian, bentuk pertanyaan penelitian, metode perolehan data, mengukur keabsahan data, analisis data hingga makna dan fungsi teori. Berikut uraian ringkasnya.
Dalam metode penelitian kuantitatif, teori berfungsi sebagai dasar penelitian untuk diuji. Oleh karena itu, sebelum mulai kegiatan pengumpulan data, peneliti menjelaskan teori secara komprehensif. Uraian mengenai teori ini dipaparkan dengan jelas dan rinci pada desain penelitian. Teori menjadi kerangka kerja (framework) untuk keseluruhan proses penelitian, mulai bentuk dan rumusan pertanyaan atau hipotesis hingga prosedur pengumpulan data. Peneliti menguji atau memverifikasi teori dengan cara menjawab hipotesis atau pertanyaan penelitian yang diperoleh dari teori. Hipotesis atau pertanyaan penelitian tersebut mengandung variabel untuk ditentukan jawabannya. Karena itu, metode penelitian kuantitatif berangkat dari teori.
Sebaliknya, metode penelitian kualitatif berangkat dari lapangan dengan melihat fenomena atau gejala yang terjadi untuk selanjutnya menghasilkan atau mengembangkan teori. Jika dalam metode penelitian kuantitatif teori berwujud dalam bentuk hipotesis atau definisi sebagaimana dipaparkan pada halaman sebelumnya, maka dalam metode penelitian kualitatif teori berbentuk pola (pattern) atau generalisasi naturalistik (naturalistic generalization). Karena itu, pola dari suatu fenomena bisa dianggap sebagai sebuah teori. Kalau begitu apa fungsi teori dalam metode penelitian kualitatif? Teori dipakai sebagai bahan pisau analisis untuk memahami persoalan yang diteliti.
Dengan teori, peneliti akan memperoleh inspirasi untuk bisa memaknai persoalan. Memang teori bukan satu-satunya alat atau bahan untuk melihat persoalan yang diteliti. Pengalaman atau pengetahuan peneliti sebelumnya yang diperoleh lewat pembacaan literatur, mengikuti diskusi ilmiah, seminar atau konferensi, ceramah dan sebagainya bisa dipakai sebagai bahan tambahan untuk memahami persoalan secara lebih mendalam. Teori dipakai sebagai informasi pembanding atau tambahan untuk melihat gejala yang diteliti secara lebih utuh. Karena tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami gejala atau persoalan tidak dalam konteks mencari penyebab atau akibat dari sebuah persoalan lewat variabel yang ada melainkan untuk memahami gejala secara komprehensif, maka berbagai informasi mengenai persoalan yang diteliti wajib diperoleh. Informasi dimaksud termasuk dari hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai persoalan yang sama atau mirip.
Misalnya, jika seorang mahasiswa program magister atau doktor bidang pendidikan ingin meneliti mengenai pola orangtua di masyarakat perkotaan dalam mendidik anak, maka informasi dari mana saja, lebih-lebih dari hasil penelitian sebelumnya yang mirip dengan tema tersebut, wajib dikumpulkan. Informasi itu tidak saja dipakai sebagai bahan perbandingan untuk memahami persoalan yang diteliti, tetapi juga untuk menegaskan bahwa peneliti tidak melakukan duplikasi atau replikasi dari penelitian sebelumnya. Sebab, baik duplikasi maupun replikasi keduanya dianggap tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Kegiatan penelitian memerlukan hal-hal yang baru (novelty) yang tentu tidak akan diperoleh dari duplikasi dan replikasi. Itu yang oleh para ahli sering disebut sebagai ‘state of the arts’ dalam penelitian yang meliputi siapa saja hingga yang paling terakhir meneliti apa, di mana (jika penelitian lapangan), apa masalahnya, metode apa yang dipakai, dan dengan hasil apa. Untuk kepentingan praktis agar memudahkan pembaca melihat posisi peneliti pada deretan tema sejenis, state of the arts dibuat dalam bentuk tabel dengan komponen-komponen tersebut.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi peminat bidang metodologi penelitian, para peneliti, dan juga para mahasiswa yang akan atau sedang melakukan penelitian untuk skripsi, tesis atau disertasi. Secara khusus, saya berharap tulisan pendek ini dapat mengurangi kebingungan para mahasiswa mengenai posisi dan fungsi teori dalam penelitian sebagaimana selama ini terjadi.
________
Daftar Pustaka
Borg, Waler R., and Meredith D. Gall. 1989. Educational Research: An Introduction. New York and London: Longman.
Creswell, John W. 2003. RESEARCH DESIGN: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Thousand Oaks: SAGE Publications.
Creswell, John W., and Vicki L. Plano Clark. 2007. Designing and Conducting Mixed Methods Research. Thousand Oaks: SAGE Publications.
Denzin Norman K., and Yvonna S. Lincoln (Eds. ). 1994. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks: SAGE Publications.
Given, Lisa M. (Ed.). 2008. The SAGE Encyclopedia of QUALITATIVE RESEARCH METHODS. Los Angeles: SAGE Reference Publication.
Penulis: Prof: Mudjia Rahardjo
Guru Besar UIN Malang
Dipublikasikan Oleh: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd
Pendidik di Malang
Post a Comment for "Teori dan State of the Arts dalam Penelitian"